Puluhan Biksu Lakukan Pindapata, Ritual Hening Menyentuh Kota Magelang

Puluhan Biksu Lakukan Pindapata – Pagi itu, suasana Kota Magelang berubah drastis. Bukan karena parade besar atau konser artis ibukota. Melainkan, puluhan biksu berjubah jingga melangkah pelan dengan wajah teduh dan kepala tertunduk. Sebuah pemandangan yang tak biasa namun menyita perhatian, bahkan dari mereka yang awalnya acuh.

Pindapata ritual kuno yang sudah di lakukan ribuan tahun oleh para biksu Buddha menyentuh denyut kehidupan Magelang. Ritual ini bukan sekadar aksi jalan kaki. Ia adalah manifestasi kesederhanaan, kedisiplinan spiritual, dan pengingat keras bahwa kehidupan bukan tentang memiliki, melainkan memberi dan menerima dengan penuh kesadaran.

Di tengah panas yang membakar dan jalanan kota yang penuh aktivitas, para biksu tetap melangkah tanpa suara. Mereka tidak meminta, mereka hanya menerima. Warga yang tahu, dengan penuh takzim, menunduk saat meletakkan makanan atau minuman dalam mangkuk para biksu. Sebuah momen sakral yang membungkam kegaduhan kota.

Puluhan Biksu Lakukan Pindapata Di Candi Borobudur

Pindapata ini bukan kegiatan rutin. Ini bagian dari prosesi besar menuju Waisak hari suci bagi umat Buddha. Rangkaian ritual ini memuncak di Candi Borobudur, namun sebelum mencapai situs megah itu, mereka melewati Kota Magelang. Sebuah simbolisasi: bahwa perjalanan spiritual harus menyentuh kehidupan masyarakat terlebih dahulu sebelum mencapai pencerahan.

Baca Berita Lainnya Juga Hanya Di nangkulapark.com

Mereka datang dari berbagai penjuru, bahkan beberapa dari negara tetangga. Tidak ada selebrasi, tidak ada sorotan glamor. Hanya langkah-langkah pelan penuh keteguhan dan semangat. Tanpa alas kaki, para biksu menapaki aspal panas dengan penuh penghayatan. Ini bukan penderitaan. Ini pengingat. Bahwa kemewahan duniawi hanyalah debu di atas telapak kaki seorang pencari kebijaksanaan.

Masyarakat Magelang menyambut mereka bukan dengan sorak-sorai, tapi dengan keheningan dan rasa hormat. Pemandangan ini menjadi tamparan halus namun keras bagi masyarakat modern yang sering terjebak dalam hiruk-pikuk konsumsi dan keserakahan.

Antusiasme Warga: Dari Penonton Menjadi Peserta Spiritual

Warga Magelang tidak hanya menjadi penonton pasif. Banyak yang ikut menyediakan makanan, air minum, dan tempat istirahat. Anak-anak kecil di bimbing orang tuanya untuk ikut memberikan dana makanan ke para biksu. Sebuah pelajaran langsung tentang nilai memberi, empati, dan kebajikan.

Ritual ini menghipnotis. Jalanan yang biasanya di penuhi suara klakson dan teriakan, hari itu menjadi ruang refleksi massal. Bahkan beberapa pengendara motor turun dari kendaraan mereka, menyingkir ke pinggir jalan, dan menatap penuh rasa hormat.

Seorang warga bernama Suyati (45), yang sehari-hari berdagang sayur, mengaku merinding melihat para biksu berjalan. “Saya nangis. Hening mereka itu bikin saya mikir, kita ini hidup buat apa sih? Mereka nggak bawa apa-apa, tapi kayaknya punya segalanya,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Pindapata Bukan Wisata Religi, Tapi Peringatan

Fenomena seperti ini seringkali di salahartikan sebagai tontonan budaya atau sekadar wisata religi. Padahal, inti dari pindapata bukanlah eksibisi. Ini adalah praktik di siplin spiritual tertinggi. Tidak sembarangan orang bisa melakukannya. Butuh kekuatan mental, ketulusan hati, dan komitmen untuk tidak menyimpang dari prinsip Dharma.

Namun justru di situlah letak ironi masyarakat kita. Banyak yang terpukau pada visual, pada eksotisme ritual, tapi luput memahami maknanya. Pindapata adalah pengingat keras bahwa manusia harus bisa menahan nafsu, hidup sederhana, dan memperkuat batin.

Magelang Jadi Cermin: Mampukah Kita Bertumbuh Secara Spiritual?

Magelang bukan sekadar kota perlintasan. Dalam momen seperti ini, ia menjadi cermin reflektif. Apakah kita mampu menapaki jalan hidup yang lebih jujur, bersih, dan penuh kasih? Atau kita hanya akan terus terjebak dalam kerakusan dan egoisme yang makin menebal?

Para biksu telah melewati kota ini. Mereka tak menuntut apa-apa, tak mencari pengikut, tak ingin di elu-elukan. Mereka hanya membawa pesan yang begitu dalam: keheningan bisa lebih lantang daripada ribuan kata. Dan dalam langkah sunyi mereka, kita masyarakat modern di paksa melihat kembali ke dalam diri kita sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *